Ilmuwan mengungkap mengapa kasus demam berdarah berulang lebih parah daripada infeksi primer

Telah terjadi peningkatan signifikan dalam kasus demam berdarah di seluruh dunia, dengan banyak wabah, sehingga menimbulkan pertanyaan baru tentang siapa yang berisiko lebih tinggi terhadap bentuk parah penyakit yang ditularkan melalui nyamuk ini.

Insiden infeksi telah meningkat pesat di wilayah yang disebut "sabuk demam berdarah," yang meliputi Amerika Tengah dan Selatan, Afrika sub-Sahara, Asia Tenggara, dan sebagian besar wilayah Pasifik Selatan, yang merupakan rumah bagi pulau-pulau berpenduduk padat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, demam berdarah adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor yang paling luas penyebarannya dan paling cepat berkembang di dunia.

Di Amerika saja, lebih dari 5,2 juta kasus dan lebih dari 1.000 kematian dilaporkan dalam tiga bulan pertama tahun 2024, Organisasi Kesehatan Pan Amerika melaporkan pada bulan April, mencatat peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023.

Situasi serupa juga terjadi di daerah lain yang terkena demam berdarah, di mana kegagalan dalam pengendalian vektor, ditambah dengan perubahan iklim global, telah menyebabkan ledakan nyamuk haus darah, dengan kawanan nyamuk berpindah ke daerah yang sebelumnya dianggap bebas demam berdarah. Hanya nyamuk betina yang memakan darah, karena mereka terus-menerus membutuhkan nutrisi dari darah untuk memberi makan telur-telurnya.

Kini, lebih dari dua dekade pemantauan demam berdarah di Thailand memberikan jawaban atas banyak pertanyaan di saat dunia sangat membutuhkan kepemimpinan.

Temuan penelitian menunjukkan bagaimana berbagai subkelompok — yang oleh para ahli virologi disebut subtipe — dari virus dengue memengaruhi risiko infeksi parah di masa mendatang. Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa mereka yang terinfeksi dalam wabah berikutnya setelah infeksi pertama yang biasanya ringan berisiko tinggi terkena penyakit parah dengan infeksi berikutnya. Penelitian baru ini akhirnya menganalisis lebih dari 15.000 kasus untuk mencari tahu alasannya.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam Science Translational Medicine, tim ilmuwan internasional menjelaskan bagaimana empat subtipe virus dengue — DENV-1, 2, 3, dan 4 — memengaruhi risiko infeksi parah yang berulang. Temuan ini memberikan dasar baru untuk pemantauan penyakit dan meletakkan dasar bagi strategi vaksinasi seiring dengan tersedianya vaksin dengue baru.

Tim juga menyoroti bahwa demam berdarah, penyakit tropis yang berbahaya, dapat dipahami dalam konteks penyakit virus umum lainnya yang beredar di seluruh dunia.

“Kemampuan virus seperti SARS-CoV-2 dan influenza untuk terus-menerus mengubah struktur genetiknya sebagai respons terhadap tekanan selektif dari kekebalan populasi mempersulit upaya pengendalian,” kata Dr. Lin Wang, penulis utama studi demam berdarah.

"Dalam kasus virus dengue, arbovirus yang menginfeksi lebih dari 100 juta orang setiap tahun, situasinya bahkan lebih rumit," lanjut Wang. "Orang dengan titer antibodi yang tinggi terhadap virus dengue terlindungi dari infeksi dan dari perkembangan penyakit yang parah.

"Namun, orang dengan titer antibodi sub-netralisasi menunjukkan risiko tertinggi penyakit parah melalui beberapa mekanisme yang dihipotesiskan, termasuk peningkatan yang bergantung pada antibodi," kata Wang, seorang peneliti di Departemen Genetika di Universitas Cambridge di Inggris.

Infeksi dengue bisa berbahaya. Beberapa pasien yang pernah terinfeksi tetapi terinfeksi lagi dalam wabah berikutnya mungkin mengalami gejala yang lebih parah saat terinfeksi untuk kedua kalinya. Namun, sebagian besar penelitian tentang infeksi ulang dengue telah memperlakukan setiap serotipe sebagai sesuatu yang tidak dapat dibedakan dari yang lain, kata Wang dan rekan-rekannya, dengan mencatat bahwa perbedaan genetik dari setiap serotipe perlu dinilai untuk lebih memahami potensi risikonya.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, para peneliti mempelajari setiap serotipe pada lebih dari 15.000 pasien untuk memahami mengapa infeksi dengue pertama biasanya lebih ringan daripada infeksi berikutnya. Wang bekerja sama dengan dua pusat di Bangkok, Thailand, beberapa lembaga penelitian di AS, dan satu di Prancis.

Untuk menentukan bagaimana setiap serotipe virus memengaruhi risiko penyakit parah, Wang dan rekan-rekannya menganalisis data genetik virus. Tim tersebut juga mengamati rawat inap pasien demam berdarah untuk menentukan subtipe virus mana yang menyebabkan infeksi mereka. Para peneliti mengumpulkan data dari pengawasan demam berdarah selama 21 tahun, dari tahun 1994 hingga 2014, di sebuah rumah sakit anak-anak di Bangkok, yang mencakup 15.281 kasus. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi kasus berulang dan setiap serotipe virus di semua infeksi.

Dengan menggunakan catatan rumah sakit pasien anak, para peneliti menemukan hubungan antara rawat inap dan urutan pasien yang terinfeksi berbagai serotipe virus dengue. Mereka juga dapat menentukan kombinasi subtipe virus mana yang mengindikasikan bentuk dengue ringan atau berat. Misalnya, orang yang terinfeksi serotipe yang sangat mirip satu sama lain, seperti DENV-3 dan DENV-4, atau serotipe yang sangat berbeda, seperti dalam kasus DENV-1 dan DENV-4, memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit parah jika mereka terinfeksi ulang.

Namun, pasien yang terinfeksi dengan serotipe yang hanya sedikit berbeda memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala parah pada infeksi berikutnya. Kelompok risiko tertinggi dalam kategori ini mencakup pasien yang pertama kali terinfeksi DENV-2 dan kemudian terinfeksi DENV-1.

Studi baru ini memperjelas risiko penyakit ini, yang mungkin tampak berlawanan dengan intuisi masyarakat umum. Misalnya, kebanyakan orang yang baru terinfeksi dengue mengalami gejala yang sangat ringan atau bahkan tidak mengalami gejala sama sekali. Namun bagi mereka yang benar-benar sakit, gejala utamanya meliputi demam, sakit kepala, nyeri tubuh, mual, dan ruam, yang memburuk jika terjadi infeksi berat.

Selama lebih dari satu abad, serangan demam berdarah yang parah dikenal sebagai demam "patah tulang" karena intensitas nyeri dan kejang otot yang menyertainya.

Virus ini dibawa di daerah tropis dan subtropis oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang merupakan endemik di daerah demam berdarah. Namun, meskipun daerah tersebut, yang membentang antara garis lintang 35 derajat utara dan 35 derajat selatan, secara tradisional telah menjadi rumah bagi nyamuk pembawa demam berdarah, para ilmuwan mengatakan bahwa jangkauan mereka meluas ke utara seiring berlanjutnya perubahan iklim.

Sementara itu, Wang mengatakan studi bersama tersebut telah meletakkan dasar bagi pemahaman yang lebih baik tentang fungsi sistem kekebalan tubuh pada infeksi dengue parah berikutnya.

“Hasil ini menunjukkan bahwa pencitraan kekebalan membantu menentukan risiko penyakit dengue dan menyediakan cara untuk memantau perubahan profil risiko populasi dan mengukur profil risiko kandidat vaksin,” simpul Wang. “Hal ini akan menjadi semakin penting seiring dengan semakin banyaknya vaksin dengue yang digunakan.”

Hasil penelitian ini dijelaskan secara rinci dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam jurnal Science Translational Medicine.