Protein meningkatkan ketahanan terhadap dosis radiasi radioaktif yang mematikan

Protein yang mencegah pembekuan darah meningkatkan daya tahan tubuh terhadap dosis radiasi radioaktif yang mematikan.

Insiden tahun lalu di PLTN Fukushima sekali lagi memaksa kita untuk mengatasi masalah perlindungan dari radiasi. Dipercayai bahwa dosis radiasi yang tinggi bekerja pada tubuh dengan cepat dan tidak dapat dipulihkan, terutama merusak sumsum tulang dan usus. Akibatnya, jumlah sel darah menurun tajam, akibatnya sistem kekebalan tubuh berhenti bekerja dan tubuh menjadi mangsa empuk bahkan bagi patogen yang paling lemah sekalipun. Sarana bantuan utama dalam kasus ini adalah faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, protein yang merangsang pembentukan sel darah baru. Namun, pertama-tama, sangat sulit disimpan, kedua, harus diberikan sesegera mungkin setelah penyinaran, dan ketiga, penggunaannya terkadang disertai dengan efek samping.

Musim gugur lalu, para ilmuwan dari Harvard (AS) berhasil menemukan obat (campuran protein bakterisida imun dan antibiotik) yang menstabilkan kondisi hewan yang diradiasi dan meningkatkan kelangsungan hidup bahkan setelah dosis radiasi yang sangat tinggi. Rekan mereka dari University of Cincinnati dan Wisconsin Blood Research Institute (keduanya di AS) melaporkan dalam jurnal Nature Medicine tentang campuran protein dengan efek serupa: protein darah trombomodulin dan protein C yang diaktifkan (xigris) meningkatkan kelangsungan hidup tikus yang diradiasi hingga 40–80%.

Para ilmuwan sampai pada penemuan itu dengan mempelajari tikus mutan yang resistan terhadap radiasi. Ternyata tikus-tikus itu mengalami peningkatan sintesis trombomodulin, protein antikoagulan yang mencegah pembekuan darah berlebihan. Trombomodulin mengaktifkan protein C, yang juga membatasi pembekuan darah. Mereka telah mencoba menggunakan protein C yang diaktifkan sebagai agen antiinflamasi, tetapi kemudian meninggalkan ide itu karena rendahnya efisiensi obat komersial itu. Sekarang, tampaknya, protein ini akan mendapat kesempatan kedua. Para ilmuwan menyinari sekitar lima puluh tikus dengan dosis radiasi 9,5 Gy dan setelah 24 atau 48 jam, mereka menyuntikkan beberapa subjek uji dengan protein C yang diaktifkan. Setelah sebulan, hanya sepertiga dari mereka yang tidak disuntik dengan protein itu yang bertahan hidup, sementara suntikan protein C meningkatkan kelangsungan hidup hingga 70%. Trombomodulin memiliki efek yang serupa, tetapi agar ini terjadi, ia harus disuntikkan dalam setengah jam pertama setelah penyinaran.

Para peneliti tidak ragu bahwa kedua protein tersebut akan ditambahkan ke gudang alat perlindungan antiradiasi. Yang menguntungkan mereka adalah fakta bahwa setidaknya satu dari keduanya dapat berfungsi bahkan setelah waktu yang lama setelah penyinaran. Pada saat yang sama, baik trombomodulin maupun protein C telah berpartisipasi dalam uji klinis, artinya, interaksinya dengan tubuh manusia seharusnya tidak menimbulkan kejutan apa pun.

Untuk mencapai efek yang lebih besar, jelas perlu untuk memperkenalkan kedua protein tersebut, karena, selain protein eksternal C, tidak ada salahnya untuk mengaktifkan cadangan internalnya dengan bantuan trombomodulin. Namun, para ilmuwan masih harus bekerja untuk menguraikan mekanisme aksi mereka (mengapa protein antikoagulan baik terhadap radiasi?)...

[ 1 ], [ 2 ], [ 3 ], [ 4 ], [ 5 ], [ 6 ], [ 7 ], [ 8 ], [ 9 ]