Studi mengungkap mekanisme resistensi terhadap imunoterapi pada glioblastoma

Sel kanker langka yang mematikan kebal terhadap imunoterapi. Kini, para peneliti mungkin telah menemukan alasannya, yang dapat membuka jalan bagi jenis pengobatan baru.

Imunoterapi telah menjadi keberhasilan medis, yang memungkinkan dokter untuk mengobati dan bahkan menyembuhkan beberapa kanker yang dulunya dianggap mematikan. Namun, ini tidak berlaku untuk semua kanker. Kanker otak agresif glioblastoma resistan terhadap pengobatan. Hingga saat ini, para peneliti tidak mengetahui alasannya, kata salah satu ilmuwan yang terlibat dalam studi baru dari Universitas Kopenhagen.

"Dengan bermutasi, yaitu mengubah DNA mereka, sel kanker dapat menjadi resistan terhadap pengobatan. Namun, sel glioblastoma berperilaku berbeda selama imunoterapi," kata profesor klinis dan pemimpin tim di Pusat Penelitian dan Inovasi Bioteknologi (BRIC) Joachim Lütken Weischenfeldt. Studi barunya, yang diterbitkan dalam jurnal Neuro-Oncology, menjelaskan respons sel tumor terhadap imunoterapi.

Setiap tahun, sekitar 300 orang Denmark didiagnosis menderita kanker langka glioblastoma. "Dengan memeriksa dan membandingkan materi tumor sebelum dan sesudah pengobatan dengan imunoterapi, kami dapat mengidentifikasi sekelompok pasien yang mengalami perubahan pada tampilan sel tumor. Sel-sel tersebut hanya mengenakan 'lapisan' yang berbeda," jelas Joachim Lütken Weischenfeldt.

Alih-alih bermutasi, suatu proses yang memerlukan perubahan DNA sel dan memakan waktu lama, sel tumor hanya mengubah penampilan dan perilakunya.

"Sel-sel ini, yang dapat mengubah penampilannya agar menyerupai jenis sel tertentu yang ditemukan di sumsum tulang, sangatlah plastis," jelas Weishenfeldt.

"Namun, bukan hanya sel kanker yang berubah. Kami juga melihat perubahan signifikan pada makrofag dan sel T, yang biasanya membantu membunuh sel kanker."

Sel kanker yang tidak diobati biasanya dapat melindungi diri dari serangan sel T. Imunoterapi mencegah hal ini.

"Pada pasien glioblastoma, imunoterapi tidak membuat sel kanker tidak mampu mempertahankan diri terhadap serangan sel T. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa sel kanker dapat menyerang sel T dengan sinyal dan dengan demikian 'melemahkannya'," kata Weishenfeldt.

Dengan kata lain, sel glioblastoma dapat menghindari imunoterapi dengan mengubah penampilannya, membuat pengobatan tidak efektif, dan mempertahankan diri terhadap serangan sel T dengan menguras habis sel tersebut. Kombinasi ini membuat glioblastoma kebal terhadap imunoterapi dan pertahanan alami tubuh, sehingga menjadikannya jenis kanker yang sangat agresif.

Kanker Langka Namun Mematikan " Glioblastoma adalah jenis tumor otak paling agresif pada orang dewasa, dengan harapan hidup jangka pendek. Kita sangat membutuhkan perawatan baru yang efektif," kata Weishenfeldt.

Ia berharap penelitian baru ini akan membuka jalan bagi perawatan baru yang dapat memerangi mekanisme resistensi unik glioblastoma.

"Ketika sel-sel tumor ini mengubah penampilannya, mereka mengekspresikan protein yang berbeda. Dan karena protein-protein ini akan bersifat unik untuk sel-sel ini, seharusnya memungkinkan untuk menargetkannya," simpulnya.

Ini akan melibatkan penggunaan mekanisme pertahanan glioblastoma yang cerdas terhadap dirinya sendiri. Namun, masih perlu waktu sebelum perawatan semacam itu tersedia bagi pasien.

"Mengembangkan pengobatan yang hanya menargetkan jenis sel kanker tertentu saja sulit, jadi perlu waktu untuk menemukan keseimbangan yang tepat dan mampu melawan tumor tanpa efek samping yang serius," jelas Weishenfeldt.

Langkah selanjutnya bagi Weischenfeldt dan rekan-rekannya adalah mencoba mengidentifikasi kanker plastik lain yang kegagalan pengobatannya tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh mutasi genetik.

"Secara konseptual, penelitian ini menyarankan pendekatan yang berbeda terhadap pengobatan kanker. Idenya adalah untuk menargetkan plastisitas sel kanker, yaitu kemampuan mereka untuk mengubah penampilan dan berinteraksi dengan sel-sel di sekitarnya, termasuk sel T dan makrofag.

"Ini bisa menjadi langkah awal menuju perawatan yang lebih personal bagi pasien kanker agresif seperti glioblastoma, yang sangat membutuhkan perawatan baru."