Penyebab resistensi kanker payudara terhadap kemoterapi ditemukan

Sel kanker payudara membutuhkan hormon estrogen untuk tumbuh. Pemblokiran reseptor estrogen sering digunakan untuk mengobati penyakit ini, tetapi tumor telah belajar untuk "mengabaikan" terapi ini. Para ilmuwan telah menemukan protein yang menyebabkan resistensi ini.

Kanker payudara merupakan salah satu bentuk kanker yang paling umum; di Inggris saja, 46.000 wanita didiagnosis mengidapnya setiap tahun. Lebih dari 75% kasus dapat diobati dengan terapi anti-estrogen. Hal ini karena sel kanker sering kali mengandung reseptor untuk hormon estrogen di permukaannya (diyakini bahwa sel-sel ini membutuhkannya untuk pertumbuhan). Akibatnya, dokter cukup berhasil dalam menekan perkembangan neoplasma dengan berbagai penghambat reseptor estrogen (misalnya, tamoxifen) - tetapi tidak ketika tumor mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan tersebut.

Resistensi terhadap kemoterapi merupakan salah satu masalah tersulit dalam onkologi modern. Tingkat keparahannya sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa berbagai jenis kanker "terbiasa" dengan obat-obatan dengan cara yang berbeda, dan perjuangan melawan fenomena ini secara harfiah berubah menjadi pertarungan dengan monster berkepala banyak. Namun, dalam kasus kanker payudara, resistensi terhadap terapi antiestrogen tampaknya telah dikalahkan. Para ilmuwan dari Imperial College, Universitas London (Inggris) melaporkan bahwa mereka telah menemukan protein yang bertanggung jawab atas resistensi tersebut.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine, para peneliti mendeskripsikan sebuah protein bernama LMTK3 yang diisolasi dari sel tumor manusia yang resistan terhadap penghambat reseptor estrogen tamoxifen. Pada tikus, tumor menyusut dengan cepat ketika para ilmuwan secara genetik menekan protein tersebut. Pasien dengan prognosis buruk yang kurang responsif terhadap kemoterapi memiliki kadar protein yang lebih tinggi dalam sel tumor mereka dibandingkan pasien yang merespons pengobatan. Selain itu, insidensi mutasi pada gen LMTK3 berkorelasi dengan seberapa lama pasien kanker hidup.

Para ilmuwan mencatat bahwa gen protein ini juga terdapat pada kerabat terdekat manusia, yaitu simpanse. Namun, pada saat yang sama, monyet sama sekali tidak menderita kanker payudara yang bergantung pada estrogen, meskipun gen LMTK3 sendiri sangat mirip pada simpanse dan manusia. Mungkin perubahan pada LMTK3 memberi kita beberapa keuntungan evolusi, tetapi pada saat yang sama membuat kita lebih sensitif terhadap bentuk kanker ini. Dengan satu atau lain cara, simpanse tidak cocok sebagai subjek uji untuk mengembangkan terapi antikanker baru, yang dalam beberapa hal mempersulit tugas tersebut. Di sisi lain, para peneliti telah memutuskan arah pencarian: protein LMTK3 adalah kinase, enzim yang dapat mengatur aktivitas protein lain dengan menempelkan residu asam fosfat ke molekulnya. Mengetahui mekanisme protein yang menyebabkan resistensi obat akan memudahkan untuk mengatasi resistensi ini.